Minggu, 11 September 2011

KALAM ULAMA-ULAMA AHLUBAIT

Imam Ja'far Ash Shiddiq berkata, "Jika engkau menemukan sesuatu yang tidak engkau sukai dari perbuatan saudaramu, maka carilah satu bahkan sampai 70 alasan untuk membenarkan perbuatan saudaramu itu, dan jika engkau masih belum mendapatkan alasannya, maka katakanlah, "Semoga ia mempunyai alasan tertentu (kenapa berbuat demikian) yang aku tidak mengetahuinya.."

Syaikh Abu Bakar bin Salim (Fakhrul Wujud) berkata, "Siapa yang bergaul dengan orang baik, maka ia layak mendapat ma'rifah dan sirr (rahasia), dan sebaliknya, siapa yang bergaul dengan pendosa dan orang bejat, maka ia berhak mendapatkan hina dan api neraka.."

Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Al Quthub Al Fard, Gresik) berkata, "Tiada yang menyebabkan manusia lebih merugi selain meninggalkan kitab-kitab sejarah kaum Salafush Shalihin dan berpaling kepada buku-buku modern dengan pola fikir yang moderat.."

Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi (Al Quthub, Gubah Ampel Surabaya), "Hati-hatilah kalian dengan penegakan agama kepada istri, anak dan pembantu kalian, karena kadang musibah disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah tanggungan (para istri, anak dan pembantu) yang tidak benar agamanya).."

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih (Al Quthub Al Habrar, Darul Hadits Malang) berkata, "Ketika kita mencari ilmu, mungkin kita bisa mendapatkannya dari kitab atau buku, namun ketika kita mencari barakahnya, tidaklah kita akan mendapatkannya kecuali dengan dekatnya kita kepada orang-orang sholeh.."

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih (Al Quthub Al Habrar, Darul Hadits Malang) berkata berkata, "Barangsiapa yang merasa cukup bahwa gurunya itu adalah kitab atau buku, maka sesungguhnya guru orang tersebut adalah setan..."

Habib Salim bin Ahmad Bin-Jindan (Al Fakhrihiyyah, Tangerang) berkata, "Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka (yaitu majelis para ulama dan orang-orang sholeh), dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.."

Habib Alwi bin Muhammad Al Haddad (Bogor) berkata, "Seindah-indahnya tempat di dunia adalah tempat orang-orang yang shaleh,karena mereka bagai bintang-bintang yang bersinar pada tempatnya di petala langit.."

Habib Hasan bin Sholeh Al Bahr Al Jufri berkata, "Jika dakwah dilakukan dengan penuh kasih sayang, maka hati yang diterangi cahaya iman akan memperoleh manfaat, dan nafsu akan bertekuk lutut.."

Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani (Mufti Maliki Makkah) dalam berkata, "Shalawat adalah salah satu hak Rasulullah SAW yang mesti kita penuhi sebagai ungkapan rasa terima kasih kita atas nikmat agung yang Allah SWT berikan melalui beliau kepada kita.."

Habib Zain bin Ibrahim Bin-Sumaith (Mufti Syafi’I Madinah) berkata, "Musibah dan bencana adalah wujud dari pembelajaran Allah SWT kepada hamba-Nya yang beriman, karena dengan musibah itu Allah SWT mengingatkan mereka untuk memahami betapa hinanya dunia untuk dicintai.."

Habib Umar bin Hafidh BSA (Darul Mushtafa, Tarim Yaman) berkata, "Menyatunya seorang murid dengan gurunya merupakan permulaan menyatu dirinya dengan Rasulullah SAW, sedangkan menyatunya dengan Rasulullah SAW merupakan permulaan untuk dirinya fana kepada Allah.."

KEUTAMAAN AHLUBAIT

Sabda Rasulullah SAW mengenai cucunya, Imam Hasan bin Ali bin Abu Thalib, "Sesungguhnya anakku ini adalah Sayyid (pemimpin), semoga Allah mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan kaum Muslimin.." (Fathul Bari, Juz V, Hal 647, Hadits No : 2.704, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani)

Rasulullah SAW bersabda, "Bintang-bintang adalah petunjuk bagi penduduk bumi dari kesesatan, dan Ahlubaitku adalah pengaman bagi ummatku dari perselisihan.." (Al Mustadrak 'Alaa Shahihain, bab III, hal 162, Imam Al Hakim Annaisaburi)

Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq RA berkata, "Laksanakanlah wasiat Rasulullah SAW mengenai Ahlubait-nya (yaitu dengan mencintai dan memuliakannya).." (Ash Shahih, Bab Manaqib Qarabatur Rasulullah SAW, Hal : 252, Hadits No : 3.711, Imam Bukhari)

Imam Syafi'i RA berkata, "Jika engkau berguru kepada seorang Ahlubait, maka berpeganglah dengannya dan jangan kau lepas mereka, jangan kau sakiti, jangan kau sepelekan apalagi kau benci, karena membuat mereka sakit sama seperti membuat datuknya (Rasulullah SAW) sakit.."

Imam Syafi'i RA dengan hati melayang-layang melantunkan pernyataan sekaligus seruannya tentang Ahlubait Rasulullah SAW, "Hai Ahlulbait, mencintaimu adalah kewajiban umat. Itulah ketetapan Allah dalam Qur'an-Nya. Cukuplah sebagai tanda keagunganmu yaitu dengan, tidak akan pernah diterima shalat seseorang yang enggan bershalawat kepadamu !!"

HABIB ALI BIN JA'FAR ALAYDRUS (Batu Pahat, Malaysia)


Al Allamah Arifbillah Azzahid Al Habib Ali bin Ja’far bin Abdul Qadir bin Salim Alaydrus, dilahirkan di Purwakarta, Jawa Barat pada tahun 1919 M. Tak banyak yang tahu memang jika beliau dilahirkan di Nusantara, karena hanya tujuh tahun beliau disana. Setelah itu beliau hijrah ke Singapura, lalu kembali lagi ke Indonesia selama dua tahun. Tahun 1929 M beliau hijrah lagi ke Singapura, dan menetap disana hingga 1942 M. Dari sana beliau hijrah lagi ke Batu Pahat, Johor, Malaysia hingga wafat, dari itulah beliau dikenal dengan nama Habib Ali Batu Pahat.

Ayahnya, Habib Ja’far, pertama kali datang dari Yaman, ke Singapura lalu ke Purwakarta pada kisaran tahun 1930-an. Beliau kemudian pulang lagi ke Tarim, Yaman dan wafat disana pada tahun 1976 M. Habib Ja’far mempunyai 10 orang anak laki-laki, yaitu Habib Ali sendiri, Habib Abdullah, Habib Abdul Qadir, Habib Idrus, Habib Thoha, Habib Ahmad, Habib Abu Bakar, Habib Thohir dan Habib Alwi. Juga beberapa orang anak perempuan, diantaranya yang masih ada adalah Syarifah Gamar.

Habib Ali adalah seorang Ahlubait yang menjadi cerminan kehidupan Zuhud zaman ini. Sungguh kemurahan adab dan kerendahan akhlak beliau teramat memikat dan membuat semua orang berdecak kagum, hingga menangis haru bilamana menatap kehidupan beliau yang sederhana, bertolak belakang dengan derajat beliau yang tinggi di sisi Allah SWT. Saking mulianya beliau dimata ulama-ulama dan kaum Muslimin, Al Allamah Arifbillah Al Musnid Assayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani sampai menggubah sebuah Qashidah untuk memuji akhlak beliau.

Kelembutan tutur kata dan santun sikapnya membuat siapa saja yang menziarahinya merasa nyaman. Diantara sifat mulia beliau, jika ada yang bertamu kepada beliau, sang tamu tidak diizinkan pulang sebelum mendo’akan beliau, padahal tamu tersebut datang dengan maksud meminta do’a dan keberkahan beliau. Yang datang menziarahi beliau bukan hanya dari kalangan awam saja, namun kaum alim ulama pun tak ketinggalan. Diantara mereka adalah (Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani Abuya Maliki).

Suatu ketika, Abuya Maliki teramat rindu ingin berjumpa dengan datuknya, Rasulullah SAW. Kemudian beliau memutuskan untuk pergi ke Malaysia dan menziarahi Habib Ali. Beliau masuk dan beberapa waktu berada di dalam bersama Habib Ali. Setelah itu beliau keluar dalam keadaan menangis, sambil berkata, “Hajatku telah terkabul, hajatku telah terkabul.” Maksudnya hajat beliau ingin berjumpa dengan Rasulullah SAW telah terkabul dengan washilah Habib Ali.

Selain Abuya Maliki, ulama besar yang juga sering menziarahi beliau adalah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Al Quthub), Habib Umar bin Hafidh BSA, Habib Anis bin Alwi Al Habsyi, Habib Salim bin Abdullah Asy Syahthi (Sultanul Ulama), Habib Zain Bin-Sumaith (Mufti Madinah), Habib Umar bin Hamid Al Jailani (Mufti Makkah), dll. Diantara mereka yang datang kemudian pulang dengan membawa mutiara ilmu dan nasihat, serta kehangan dari keagungan akhlak beliau. Beliau amat dirindukan oleh setiap orang yang pernah mengunjunginya.

Kamis petang, tanggal 28 Jumadil Akhir 1431 H (13 Mei 2010 M), 40 hari setelah kewafatan Al Quthub Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jeddah), sebuah bintang bersinar dari Bani Alawi tenggelam meninggalkan dunia yang sepanjang hidupnya beliau lawan dengan kezuhudan. Habib Ali yang agung wafat meninggalkan kefanaan menuju keabadian. Jutaan manusia datang berbondong-bondong bertakziah ke kediaman beliau. Saking banyaknya pelayat, jenazah beliau baru selesai dimandikan pukul 09.30 pagi, dan dimakamkan seusai shalat Jum’at. Beliau meninggalkan tiga orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka adalah Habib Muhammad, Habib Husain, Habib Umar dan Syarifah Khadijah.

SAYYID ABDULLAH ZAINI DAHLAN AL JAILANI (Ulama Syafi'i Makkah Al Mukarramah)



Al Allamah Arifbillah Assayyid Abdullah bin Shodaqoh Al Jailani Al Hasani adalah seorang ulama besar Madzhab Syafi’i yang menjadi pengganti kemaqaman ilmu pamannya, Al Allamah Arifbillah Shahibul Fatawa Assayyid Ahmad Zaini Dahlan Al Jailani Al Hasani. Beliau dilahirkan di Makkah Al Mukarramah oleh seorang wanita shalihah yang merupakan adik dari Al Allamah Arifbillah Assayyid Abu Bakar Syatho Addimyathi pada tahun 1290 H (1874 M).

Beliau merupakan keturunan dari Sulthan Aulya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dan Imam Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Nasabnya adalah Sayyid Abdullah bin Shodaqoh bin Zaini Dahlan bin Ahmad Dahlan bin Utsman Dahlan bin Ni’matullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah bin Utsman bin Athoya bin Faris bin Musthafa bin Muhammad bin Ahmad bin Zaini bin Qadir bin Abdul Wahhab bin Muhammad bin Abdu Razzaq bin Ali bin Ahmad bin Ahmad Al Mutsana bin Muhammad bin Zakaria bin Yahya bin Muhammad bin Abu Abdullah bin Hasan bin Sulthan Aulya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani bin Abu Shalih Musa bin Janki Dausat bin Yahya Azzahid bin Muhammad bin Daud bin Musa Al Juni bin Abdullah Al Mahdi bin Hasan Al Mutsana bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib yang menikah dengan Fathimah Azzahrah binti Rasulullah SAW.

Ayahnya telah wafat ketika Sayyid Abdullah berusia enam tahun. Maka sejak itu beliau berada di bawah didikan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan hingga kewafatannya pada tahun 1304 H (1887 M) di Madinah Al Munawwarah. Setelah itu beliau kembali ke Makkah dan belajar di bawah bimbingan langsung pamannya, Sayyid Abu Bakar Syatho Addimyathi. Selain kepada pamannya, beliau juga belajar kepada ulama-ulama Makkah lainnya, diantaranya kepada Al Habib Husain bin Muhammad Al Habsyi dan Asy Syaikh Muhammad Husain Al Khayyath. Kedalaman dan pemahaman ilmunya yang luas itu menjadi Sayyid Abdullah dipercaya sebagai imam di Maqam Ibrahim (tempat bagi imam Madzhab Syafi’i).

Sayyid Abdullah dikenal sebagai ulama yang mempunyai kegigihan dakwah yang tinggi. Setelah sekian lama tinggal di Makkah, beliau kemudian hijrah ke berbagai negara demi menyeberkan agama Islam. Diantara negara-negara yang beliau kunjungi adalah Zanjibar, Yaman, India, Mesir, Bahrain, Iraq, Suriah, Srilanka, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Ketika beliau berdakwah di Malaysia, beliau sempat diangkat menjadi Mufti di Kedah Kedua, namun jabatan itu hanya dijalaninya selama satu tahun (1904 M sampai 1905 M), beliau lebih memilih untuk mengembara lagi dalam berdakwah.

Yang unik diantara semua perjalanannya adalah, beliau memilih Indonesia sebagai persinggahan terakhirnya. Beliau memutuskan untuk menetap di Desa Ciparaya Girang, Karang Pawitan, Garut, Jawa Barat. Disanalah beliau menetap hingga menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1943 M, dua tahun sebelum kemerdekaan Indonesia.

Selain sebagai imam, pengajar, Mufti dan Muballigh, beliau juga produktif menulis kitab-kitab untuk generasi mendatang, diantara kitab karangan beliau adalah :

  1. Irsyad Dzil Ahkam
  2. Zubdatus Sirah Nabawiyyah
  3. Tuhfatuth Thullab Fii Qawa’idil I’raab
  4. Khulashoh Attiryaq Min-Samum Asy Syiqaq
  5. Irsyadul Ghafil Ilaa Mafith Thariqah Attijaniyyah Minal Bathil
  6. Fatawa Fil Ibthal Thariqah Wahdatil Wujud

HABIB ABDUL QADIR BIN AHMAD ASSEGAF (Al Quthub, Jeddah)


Al Allamah Arifbillah Al Quthub Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Saggaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha Assegaf dilahirkan di Seiwun, Yaman oleh seorang wanita mulia berdarah suci, Syarifah Alwiyah binti Ahmad bin Muhammad Al Jufri pada bulan Jumadil Akhir tahun 1331 H. Nama Abdul Qadir ini adalah pemberian dari Yang Mulia Al Allamah Arifbillah Al Imam Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (Shahib Simthuddurar). Diantara keistimewaan beliau saat bayi adalah, setiap satu jam sekali beliau dibangunkan oleh ayahnya, dan dituntun membaca Syahadat, sehingga kalimat pertama yang keluar dari mulut beliau ketika beliau mulai berbicara, adalah kalimat Syahadat.

Habib Abdul Qadir masih berusia 25 tahun ketika ayahnya wafat. Ayahnya itu wafat pada hari Sabtu sore, tanggal 4 Muharram 1357 H setelah menunaikan shalat Ashar. Sedangkan ibundanya wafat pada tanggal 29 Rajab 1378 H, bertepatan dengan wafatnya Al Allamah Arifbillah Al Musnid Al Habib Salim bin Hafidh BSA (kakek Habib Umar bin Hafidh BSA).

Pertama kali beliau belajar kepada ayahandanya, hingga pada usia dini beliau telah memahami dasar-dasar agama. Beliau kemudian melanjutkan belajarnya ke Ulmah Thoha, sebuah Rubath yang didirikan datuknya, Habib Thoha bin Umar Assegaf di Seiwun. Guru beliau ketika belajar di Rubath Ulmah Thoha adalah Syaikh Thoha bin Abdullah Bahmid. Setelah itu beliau belajar Al Quran dan Qiraah Sab’ah kepada Syaikh Hasan bin Abdullah Baraja di Madrasah Nahdhatul Ilmiyyah, sehingga beliau mampu menguasai dan menghafal keduanya. Karena keistimewaan beliau dibanding murid-murid lain, dalam waktu singkat beliau telah diangkat oleh gurunya untuk menjadi staff pengajar di Madrasah Nahdhatul Ilmiyyah.

Keadaan negeri Yaman yang kala itu dikuasai oleh Komunis memaksa beliau dan beberapa ulama lainnya hijrah. Pertama kali beliau hijrah ke Aden pada tahun 1393 H. Disana beliau disambut dengan hangat dan diminta untuk membuka majelis ilmu disana. Setelah dari Aden, beliau bertolak menuju Singapura, dan disana pun beliau disambut dengan suka cita serta membuka majelis-majelis ilmu. Pada bulan Juli 1974 M (1393 H), beliau singgah di Jakarta dan mengunjungi beberapa ulama besar disana, diantaranya kepada Al Allamah Arifbillah Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi (Habib Ali Kwitang). Dari Jakarta kemudian menuju Surabaya, disana pun beliau berziarah kepada ulama-ulama dan mendirikan majelis ilmu.

Pada tahun yang sama, beliau terbang menuju Arab Saudi. Disana beliau memperdalam ilmu agama kepada ulama-ulama, diantaranya kepada Mufti Maliki saat itu, manusia mulia guru yang sangat dicintainya, saking cintanya beliau kepada gurunya itu, sampai-sampai beliau menggubah sebuah Qashidah untuk menyanjungnya, guru mulia tersebut adalah Al Allamah Arifbillah Shahibul Fatawa Al Imam Assayyid Alwi bin Abdul Aziz Al Maliki Al Hasani, ayah dari Abuya Maliki. Kemudian beliau menetap di kota Jeddah hingga akhir hayatnya. Selain kepada ulama-ulama diatas, Habib Abdul Qadir juga belajar kepada ulama-ulama besar di zamannya, diantaranya kepada :

  1. Habib Umar bin Hamid Assegaf
  2. Habib Umar bin Abdul Qadir Assegaf
  3. Habib Abdullah bin Idrus Alaydrus
  4. Habib Abdullah bin Alwi Al Habsyi
  5. Habib Husain bin Abdullah Al Habsyi
  6. Habib Abdu Baari bin Syaikh Alaydrus
  7. Habib Muhammad bin Hadi Assegaf
  8. Habib Abdullah bin Umar Assegaf
  9. Habib Hasan bin Ismail BSA 
  10. Habib Hamid bin Alwi Al Baar

Adapun diantara murid-murid beliau yang termasyhur adalah :

  1. Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani
  2. Habib Zain bin Ibrahim Bin-Sumaith
  3. Habib Salim bin Abdullah Asy Syahthiri (Sulthanul Ulama)
  4. Habib Umar bin Hafidh BSA
  5. Habib Abu Bakar Al Adani bin Ali Al Masyhur
  6. Habib Abu Bakar bin Hasan Al Attas
  7. Habib Ali Zainal Abidin Al Jufri

Demikian Habib Abdul Qadir menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan benih ilmu dan akhlak datuknya, Rasulullah SAW ke seluruh penjuru dunia. Hingga pada saat Allah menghendaki yang dikehendaki-Nya, wajah dunia mendadak muram pada Shubuh hari Ahad, tanggal 19 Rabiul Akhir 1431 H (4 April 2010 M), ketika beliau yang agung wafat menghadap Allah dan Rasul-Nya. Beliau wafat dalam usianya 100 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di Jannatul Ma’ala setelah shalat Isya.

SAYYID MUHAMMAD BIN IBRAHIM AL YA'QUBI (Muhaddits Suriah)



Al Allamah Arifbillah Al Muhaddits Al Mursyid Assayyid Muhammad bin Ibrahim bin Ismail Shiddiq bin Muhammad Hasan Al Ya’qubi Al Hasani adalah seorang Ahlubait dari keturunan Imam Hasan bin Ali bin Abu Thalib yang lahir di Damaskus, Suriah pada kisaran tahun 1383 H (1963 M). Beliau adalah seorang ahli Hadits yang merupakan salah satu tokoh ulama besar di Damaskus, bersama Syaikh Rajab, Mufti Damaskus. Ayah dan kakeknya adalah para ulama besar di Damaskus yang menjadi imam di Masjid Agung Umayyah.

Diantara keistimewaan beliau adalah ketika usianya baru 12 tahun, beliau sering mengajar menggantikan ayahnya jika sedang berhalangan. Di usianya yang ke-14 tahun, beliau telah dipercaya untuk mengisi Khutbah Jum’at di berbagai masjid, dan pada usia 17 tahun telah menjadi Khatib tetap di salah satu masjid besar di Damaskus. Guru utama beliau dalam mencapai itu semua adalah ayahnya sendiri, yang banyak mempunyai sanad Hadits langsung kepada datuknya Rasulullah SAW. Selain kepada ayahnya, beliau juga berguru ke sejumlah ulama-ulama besar di kotanya, diantaranya kepada Syaikh Muhammad Abu Yusr Abidin, Syaikh Muhammad Zainal Abidin Attunisi dan Syaikh Abdu Aziz Al Uyyud Asud.

Disamping sebagai ulama besar ahli Hadits, Sayyid Muhammad Al Ya’qubi juga merupakan seorang Mursyid bagi Thariqah Syadziliyyah. Beliau mendapat ijazah tersebut dari ayahnya, yang sanadnya menyambung kepada Rasulullah SAW. Sekian lama belajar dan mengajar di Damaskus, pada tahun 1990 M beliau melakukan uzlah ke negara-negara lain untuk menyebarkan agama Islam, khususnya ke Eropa, Amerika dan Australia. Banyak orang-orang disana yang sebelumnya kafir kemudian memeluk Islam setelah melihat kemuliaan ahklak dan ilmu yang ada pada diri beliau.

Sekitar tahun 2006 M, beliau berkesempatan mengunjungi Indonesia. Kedatangan beliau disambut hangat oleh para ulama dan pecinta ilmu di Nusantara, banyak diantara mereka yang meminta ijazah Hadits dari beliau, karena beliau banyak mempunyai sanad Hadits yang menyambung langsung kepada Rasulullah SAW. Selain mengunjungi para ulama-ulama, beliau juga menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Aulya, diantara ke makam Al Allamah Arifbillah Al Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus di Keramat Luar Batang, Jakarta.

Hingga kini beliau tetap berdakwah menyebarkan agama Islam, khususnya dalam bidang Hadits dan Tasawwuf. Adalah sifat beliau yang mengikuti tauladan datuknya, Rasulullah SAW, sehingga tidak heran banyak orang yang mengagumi dan berguru kepada beliau, termasuk ratusan orang-orang di Eropa, Amerika dan Australia yang sebelumnya kafir menjadi Muslim melalui tangan beliau.

Jumat, 09 September 2011

SAYYID THOHIR ALAUDDIN AL JAILANI (Juru Kunci Makam Syaikh Abdul Qadir Al Jailani)



Al Allamah Arifbillah Assayyid Thohir Alauddin Al Jailani Al Hasani adalah seorang ulama Qadariyyah yang menjadi juru kunci makam datuknya, Sulthan Aulya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau lahir di Baghdad tanggal 18 Juni 1932 M. Beliau merupakan keturunan ke-17 dari Sulthan Aulya, dan keturunan ke-28 dari Rasulullah SAW. Ayahnya adalah juru kunci makam Sulthan Aulya sebelumnya. Begitu juga dengan kakeknya, semasa hidupnya beliau manjadi juru kunci makam, sekaligus menjadi Perdana Menteri Iraq selama dua tahun setelah kekuasaan Khalifah Utsmaniyyah berakhir.

Nasabnya beliau adalah, Sayyid Thohir Alauddin Al Jailani bin Mahmud Hisamuddin bin Abdurrahman bin Ali bin Musthafa bin Sulaiman bin Zainuddin bin Muhammad bin Hisamuddin bin Nuruddin bin Waliyuddin bin Zainuddin bin Syarafuddin bin Syamsuddin bin Muhammad Al Hattaki bin Abdul Aziz bin Sulthan Aulya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani bin Abu Shalih Musa bin Janki Dausat bin Yahya Azzahid bin Muhammad bin Daud bin Musa Al Juni bin Abdullah Al Mahdi bin Hasan Al Mutsana bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib yang menikah dengan Fathimah Azzahrah binti Rasulullah SAW.

Sayyid Thohir Alauddin mulai belajar ilmu agama kepada ayahnya, Sayyid Mahmud Hisamuddin Al Jailani, kemudian kepada seorang guru di Masjid Sultan Ali. Setelah itu melanjutkan ke Madrasah Darul Nizami dibawah bimbingan Syaikh Al Mullah Asad Affandi (Mufti wilayah Qasim, Iraq) dan Syaikh Kholil Al Baghdadi. Setelah lama belajar di Baghdad, pada tahun 1956 M, beliau hijrah menuju Pakistan dan menetap di Quetta hingga wafat. Kepindahan beliau dari Baghdad (Iraq) ke Pakistan bukan tanpa sebab, akan tetapi isyarah dari datuknya, Sulthan Aulya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang menyiratkan akan terjadinya sesuatu di Baghdad, dan benar, pada masa akhir hayat beliau terjadi perang di Baghdad.

Akhlak dan kepribadian Sayyid Thohir Alauddin ini begitu memukau dan mulia, sehingga banyak diantara para penguasa negeri Islam kala itu meminta beliau untuk menjadi menantunya. Diantara semua permintaan itu, beliau memilih Putri Sardar Yaar Khan Ahmad dari wilayah Kalat sebagai istrinya. Dari pernikahannya itu, beliau dikaruniai enam anak, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Diantara anak-anak laki-laki beliau adalah Sayyid Muhyiddin Mahmud (beliau mempunyai empat anak, Sayyid Thohir Hisamuddin, Sayyid Abdurrahman, Sayyid Saifuddin dan Sayyid Ahmad Nuruddin), Sayyid Jamaluddin Abdul Qadir (beliau mempunya satu anak, Sayyid Yahya Syamsuddin yang sempat menjadi Menteri Majelis Nasional Iraq) dan Sayyid Zainuddin Muhammad (beliau memiliki satu anak, Sayyid Thohir Alauddin)

Menjelang akhir hayatnya, Sayyid Thohir Alauddin menderita sakit parah hingga dirujuk ke Jerman oleh murid-muridnya. Beliau wafat disana pada hari Jum’at, tanggal 23 Dzulhijjah 1411 H (7 Juni 1991 M). Rencananya beliau akan dimakamkan di Baghdad, namun karena situasi di Baghdad dan Iraq umumnya sedang berlangsung peperangan, maka beliau dimakamkan di Lahore, Pakistan. Saking banyaknya pelayat yang datang, pemakaman selesai pukul 03.00 pagi.